Jumat, 04 Juni 2010

Diculik.? Mau donk

Mentari sudah mulai berani mengumbar sinar kekuningannya setelah lama bersembunyi di ufuk langit. Pagi yang cerah disertai dengan wangi embun pagi bercampur dedaunan hijau. Di sebuah rumah mewah bergaya minimalis inilah sepasang kembar identik dengan sifat berkebalikan tinggal. Winny, gadis SMU yang imut, tengil, ceroboh, berani, dan nekat. Sedangkan saudara kembarnya, Wina, gadis yang manis, feminine, teliti, lembut, lemah serta polos. Banyak yang heran dengan keajaiban dunia ini, mereka selalu tinggal bersama, dibesarkan dengan cara yang sama, cetakannya sama, tapi kok hasilnya begini?!? Tapi ya sudahlah, itu kita bahas belakangan.
Pagi ini Winny memasuki kamar saudara kembarnya, ia sudah siap dengan seragam SMUnya.
“Ngapain lu kesini?” Tegur Wina dengan tatapan aneh ke Winny.
“Nyari pengki dimana ya?” Jawab Winny asal. “Ya nggak lah, gue nyari lu! Eh, lu udah siap-siap kan buat rencana pulang sekolah nanti?”
“Udah beres!” Wina menjawab setengah berbisik.
“Gue udah tinggalin surat tuh buat orang rumah!” Winny menginformasikan. “Ya udah yuk, capcay!”
Mereka pun berangkat dengan diantar mobil Alphard papa mereka. Mereka menyimpan sebuah rencana besar sepulang sekolah nanti, sebuah pemberontakan sebagai pelajaran kepada orangtua mereka yang mereka nilai kurang perhatian, terus melanglang buana ke berbagai negara tanpa memberi perhatian pada anak-anaknya. Bahkan ulang tahun kali ini orangtua mereka tidak bisa pulang, parah.
Setelah bel pulang sekolah berdering, tanpa banyak cingcong Wina dan Winny langsung kabur dari area sekolah mereka. Gawat kalau keburu kepergok oleh supir mereka.
“Kita mau kemana nih?” Wina yang lemah sudah mulai kelelahan di jalan.
“Kita ke stasiun aja! Kita kan punya persediaan uang banyak, jadi nggak masalah kali ya kalau kita adventure dikit naik kereta, ke mana kek gitu!” Winny yang dasarnya nekat mengemukakan idenya.
“Gimana kalau ke Jogja aja?” Tawar Wina.
Ketika asyik mendiskusikan tempat tujuan mereka, Wina yang lengah malah kejambretan. “JAMBREEET!” Teriaknya panik, sedangkan Winny sudah berlari duluan mengejar jambret itu. Mau tidak mau Wina mengikuti Winny.

“Bener dia kesini Ny?” Wina bertanya ragu, dipandangnya rumah bergaya bali didepannya. Rumah yang asri dengan taman yang luas dan aneka pohon yang rindang.“Baru tahu ada jambret ngumpet di rumah orang.”
“Ini rumahnya kali!“ Winny menebak sambil membuka pagar berniat masuk.
“Eh!” Larang Wina, “Lu yakin mau masuk? Kalo…kita diapa-apain gimana?”
“Ya kita apa-apain lagi!” Winny menjawab ngaco. “Lagian kita kan berdua, dia sendiri, ngapain takut?”
“Tapi dia kan cowok!” Gumam Wina ragu, “Lagipula siapa yang bisa jamin dia sendirian di dalam.” Cemberutnya.

Lima menit kemudian yang terjadi adalah mereka berdua disekap di sebuah kamar dengan tangan terikat ke tiang. Di hadapan mereka berdiri seorang pemuda yang ternyata sudah berniat menculik mereka dari awal.
“Beruntung banget, ternyata anak pak Herdian seceroboh ini!” Pemuda yang umurnya sekitar duapuluh duaan itu berkata pongah. Dari perkataannya Winny mulai bisa mencerna bahwa penculik ini bukan asal culik, target mereka jelas dan direncanakan.
“Kalo gue bukan anaknya pak Herdian?” Pancing Winny.
“Nggak mungkin!” Pemuda itu menyeringai sambil menunjukkan dua lembar foto, itu foto mereka, entah dari mana mendapatkannya. “Winny Alexandria Herdian dan Wina Alexandria Herdian. Anak kembar dari keluarga konglomerat Herdian, sekolah di SMU Indonesia Sakti kelas dua. Apa ada yang salah?” Pemuda itu menyeringai, merasa menang.
“Berarti benar dong lu emang berniat nyulik kita dari awal!” Winny menyeringai, “Pasti ada yang suruh kan? Om-om sirik dan pengecut mana lagi yang kalah tender dari papa dan beraninya culik anak manis kayak kita biar proyeknya disetujui?” Tebak Winny.
“Lu kira gue bakal kasih tahu?” Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya.
“Berarti benar Ny, dia emang disuruh sama saingan bisnis papa!” Wina menyimpulkan.
“Tuh, mempan kan pancingan gue, sekarang tinggal cari tahu aja om-om mana yang lagi jadi saingan papa dan obsesian berat ngalahin papa!” Winny menambahkan.
Pemuda itu mati kutu, kecele dia sama gadis-gadis tengil ini.“Pintar juga kalian!” Ia nyengir maksa, sadar kelalaiannya. “Sekarang tinggal mengancam orang rumah kalian!” Pemuda itu mengambil handphonenya.
“Wah hebat bisa tahu nomor telepon rumah kita juga!” Kagum Winny, “Tapi sayang mas, kita udah keburu nulis surat yang menyatakan kita kabur dari rumah tuh!”
“Iya! Kalau telepon pasti mas dikira suruhan kami buat bikin cemas orang rumah!” Wina menambahkan.
“Habis kita keseringan jail kayak gitu sih ya, pura-pura diculik! Sekarang malah diculik beneran, asyik juga ya! Dari awal kan kita emang udah mau kabur dari rumah, eh kita malah dapat tempat nginep gratis…yah walau agak berdebu!” Winny malah bersyukur.
Pemuda itu hanya bisa melongo tak percaya dengan tingkah aneh kedua remaja ini, tapi ia masih coba telepon, “Halo? Benar ini rumahnya pak Herdian? Saya sekarang sedang menyekap Wina dan Winny, anak pak Herdian…”
Terdengar suara dari seberang telepon, “Oh mas sedang bersama Wina dan Winny, syukurlah! Tolong jaga baik-baik ya mas, memang nakal itu anak! Sekarang siapa lagi nih yang disuruh pura-pura menculiknya…”
Pemuda itu bingung, “Tapi ini betulan!”
Suara diseberang menyelak, “Pokoknya ingatkan mereka jangan lupa makan, terus Wina nggak boleh terlalu capek, hati-hati asmanya kumat! Lalu kalau sudah capek bermain-main begini suruh mereka pulang ya mas! Terima kasih mas! Brak…tut…tut…tut…” Pemuda itu berkernyit makin bingung.
“Tuh kan mas, dibilangin nggak percaya sih!” Winny terkikik geli.
“Mas mos mas mos, lu kira mas koki! Nama gue Nano tau!” Kesal pemuda itu.
“Iya Nano! Bisa lepasin ikatan kami nggak? Sumpek nih disini terus, lagian banyak debu!” Tuntut Winny. “Ada kamar yang lebih bagus nggak? Yang lebih bersih gitu?”
“Banyak nuntut banget sih!” Nano mulai pusing.
Winny melihat saudara kembarnya yang mulai menampakkan gejala aneh, “Yah, tuh kan mas! Asma sodara gue kambuh deh! Wina paling nggak bisa di tempat berdebu gini!”
“Emang gue mau kalian tipu? Enak aja!” Nano tidak mau tertipu.
“Wooi ini beneran! Liat dong sodara gue udah ngap-ngapan gitu nafasnya! Kasian dikit kek!” Winny mulai memekik panik, cemas melihat keadaan saudaranya.
Pemuda itu memperhatikan keadaan Wina. Wajah pucat, nafas berat dan ekspresi kepayahan itu tampaknya bukan pura-pura. Ia sendiri jadi khawatir, bagaimana kalau anak ini mati dalam sekapannya, ia juga yang nantinya repot. Akhirnya Nano nekat melepaskan ikatan mereka berdua.
“Ada tempat yang lebih bersih nggak? Sama tas Wina tadi mana? Pasti ada obat asmanya disana!” Pinta Winny ke Nano sigap.
“Awas kalau kalian kabur!” Nano memberikan juga tas Wina yang tadi digunakan sebagai umpan itu.
“Iya ah elah! Kunciin aja semua ruangan disini, kita juga nggak niat kabur kok! Kan dibilangin, kita emang niat kabur dari rumah! Yang penting sekarang, ada nggak kamar yang lebih bersih?” Winny mulai kesal.
Nano berfikir sejenak. “Ikut gue!” Ajaknya.

Mereka pindah ke kamar yang lebih bersih dan luas. Kamar ini benar-benar nyaman, sangat berbeda dengan ruangan tidak terurus tadi.
“Ini kamar gue! Awas lu macem-macem disini!” Ancam Nano.
“Iya iya!” Winny berkata kesal. Ia lebih lega sekarang karena Wina sudah diberi obat asma, Wina juga tampak sudah lebih baik. Nano mengeluarkan handphonenya dan kembali menekan nomor. “Mau ngapain lu?” Tanya Winny penasaran.
“Mau telepon delivery makanan! Laper!” Jawab Nano sebelum menempelkan HPnya ke telinga. Winny dan Wina saling pandang.
“Horee! Akhirnya kita bisa makan junkfood! Eh, pesanin pizza dong!” Seru Winny heboh.
“Iya, besok kayaknya enaknya pesan bakmi atau fried chicken nih! Udah lama nggak makan yang kayak gitu! KYAA!” Wina pun bersorak gembira, mereka berdua jadi kegirangan nggak jelas.
“Woooi!” Nano menegur, “Kenapa sih begini aja girang banget? Kalian kan kaya, masa mau makan makanan begini aja norak banget!”
Wina dan Winny saling tatap, lalu kembali menatap Nano, “Lu nggak tau sih, kalau di rumah tuh kita terlalu banyak aturan. Nggak boleh makan yang berkolestrol lah! Gizi harus diatur lah! Yang ada kita malah kayak kambing dongdot, dikasih sayuran melulu! Mana boleh kita makan junkfood kayak gitu!” Winny curhat.
“Dan sekarang kayaknya kita merdeka nih dari salad and the gank!” Tambah Wina. “Udah cepetan pesanin pizza, kalau perlu kita yang bayar deh! Seloyang besar ya, biar nanti kita bisa pajamas party sambil cerita-cerita, KYAAA!” Wina heboh lagi, tambah lagi Winny ikut berlonjak kegirangan.
“Dasar cewek!” Nano cuma bisa geleng-geleng kerepotan, tapi dilakukannya juga saran dari kedua gadis itu.
“Gue nggak mau pulaang!” Celetuk Winny sambil menggigiti pizzanya. Menurutnya inilah saat-saat kebahagiaan untuknya, sungguh surga dunia. Makan pizza lesehan tanpa jaim dan table manner nggak penting itu, dengan perut kekenyangan dan mulut belepotan coca-cola.
“Iya gue juga! Disini kita pasti bisa begadang semalam suntuk sambil cerita-cerita! Kalau dirumah mana boleh, kita kan harus tidur jam sepuluh!” Wina menyetujui. Ia juga memegang pizza porsinya, tetapi cara makannya tidak sebrutal kembarannya.
Nano cuma bisa geleng-geleng lagi melihat tingkah norak kedua anak konglomerat itu. Malam ini mereka berdua sibuk cerita-cerita dan cekikikan sambil makan pizza, kadang Nano sampai ikut geli dengan cerita-cerita lucu mereka. Saat Nano tertawa, tanpa disadari Winny dan Wina memandangnya aneh.
“Lu bisa ketawa juga?” Heran Winny. Setahunya penjahat mana ada yang suka humor.
Nano jadi salting, wibawanya turun deh. “Kenapa, emang gue nggak boleh ketawa?”
“Nggak nyangka aja! Ternyata lu nggak jahat-jahat amat ya!” Wina menimpalkan. Tiba-tiba Winny teringat sesuatu, “Eh, lu suka nyemil gitu nggak? Kayak chiki, cookies, cokelat gitu? Besok beliin ya, biar kita makan bareng!”
Wina menatap Winny sumringah, “Yeeeii, pesta cemilan lagi!!!” Serunya kekanak-kanakan.
“Enaknya sih nyemilnya sambil nonton! Disini ada TV nggak?” Winny lagi-lagi bertingkah.
“Ada, dibawah!” Jawab Nano tidak curiga. Ia mulai terbiasa dengan kegilaan anak-anak ini.
“Bagus deh!” Winny teringat sesuatu, “Eh, besok ada pertandingan bola kan? Barcelona vs MU? Nonton bareng yuk! Makanya siapin cemilan yang banyak!” Ajaknya.
Mata Nano makin membulat heran, “Lu suka bola? Lu kan cewek, konglo lagi!”
Winny melirik Nano dengan tatapan remeh, “Emangnya cewek konglo manis kayak gue nggak boleh suka bola?” Winny memainkan jari-jarinya. “Lagian gue udah lama nggak ngendap-endap nonton bola dirumah gue. Dibilangin, tiap malam tuh kita jam sepuluh udah harus tidur!“
“Iya!” Wina ikut mengangguk, “Lagian kayaknya asyik juga teriak ‘GOOLL’ yang kencang sambil lonjak-lonjak di tengah malam!” Gadis itu berkata dengan ekspresi bersemangat, sungguh polos.
“Dasar anak aneh!” Gumam Nano tak habis pikir.

Esok malamnya, rencana mereka dijalankan. Berbagai cemilan tersedia di meja depan televisi, dari mulai cokelat sampai kacang kulit. Mereka bertiga semakin akrab karena mendukung tim yang sama, MU. Sesekali mereka bersorak, kadang sorakan senang kadang kecewa. Wina yang lemah pun memaksakan diri untuk begadang malam ini. Nano diam-diam kagum dengan dua gadis polos itu, begitu mudahnya kedua gadis itu mengakrabkan diri dengan orang lain, bahkan yang berimej penjahat sepertinya. Kedua gadis itu bukannya takut atau menganggapnya buruk, sekarang mereka malah memperlakukannya sebagai teman, sungguh gadis-gadis yang aneh…tapi hebat.

Pagi menyambut, para burung mulai bercicit-cuit gembira menyanyikan serenade pagi mereka. Wangi embun di dedaunan begitu jelas tercium dari taman rumah bergaya bali itu. Tapi seisi rumah itu sudah sibuk karena Wina sakit.
“Yah Wina, lu kenapa maksain diri sih begadang semalem? Lagian lu penyakitan banget sih!” Winny mengompres saudara kembarnya yang sedang demam itu dengan khawatir.
“Ya maaf, abis kan asyik, jarang-jarang lagi nonton bola serame itu!” Jawab Wina lemah.
“Nih!“ Nano masuk ke kamarnya (yang diboikot menjadi kamar perawatan Wina) dan menyodorkan obat demam plus segelas air minum.
Winny terperangah, seingatnya ia tidak pernah menyuruh Nano melakukan ini, “Wah Nano, ternyata lu perhatian juga ya! Lu nggak bakat jadi penjahat!” Puji Winny salut.
“Gue cuma mau dia cepat sembuh supaya ‘kasur gue nggak dirampas lagi dengan alasan sakit'!” Nano menunjuk tempat tidurnya yang juga diboikot paksa oleh Winny dan Wina.
Winny cemberut, “Lagian lu sih nggak gentle banget! Masa gadis manis dan imut-imut kayak kita disuruh tidur di extra bed dibawah, sedangkan lu enak-enakan tidur di sping bed empuk gini!”
“Eh, kalian tuh masih untung! Penculik lain mana ada acara ngasih kasur segala! Harusnya tuh kalian tidur sambil diikat ditiang kayak kemarin! Lagian mana ada penculik sebaik gue yang mau beliin tawanannya pizza dan semua cemilan yang lu makan itu!” Nano tidak mau kalah.
“Nggak ikhlas banget sih! Itu juga kan belinya patungan, yee!” Winny melet ke Nano, lalu beralih menghadap kembarannya. “Wina, cepat sembuh dong! Janji deh, kalo lu sembuh, besok kita jalan-jalan ke Dufan!”
Nano terbelalak kaget, ia keberatan, “What?”
“Ssst!” Winny menyelak protes Nano, “Dia emang gini, kalau sakit harus diiming-imingin dulu biar sembuh! Udah, lu diam aja!” Winny seenaknya berkicau.
“Tapi…mana ada penculik ngizinin tawanannya keluar, nggak! Lagian katanya kalian betah disini, gimana sih! Kalau kalian keluar sama aja ngasih tahu keberadaan kalian sama dunia!” Larang Nino.
“Yaelah sehari ini!” Winny membujuk, “Lagipula, Wina ini jagonya make-up artist! Pasti nggak ketahuan deh kalau udah dia dandanin! Kita juga nggak mau kali diseret disuruh pulang ke rumah kalau ada yang ngenalin kita disana!” Jamin Winny yakin.
“Bener Ny kita bakal ke Dufan? Waah, gue udah lama nggak kesana, asyik!” Cetus Wina polos.
“Iya bener, udah nggak usah dengarin omongan mas-mas pelit itu! Makanya lu sembuh!” Winny memotivasi.
Dan ajaib bin abrakadabra, dalam sehari Wina sudah baikan. Malam harinya mereka sibuk meminjam dan memilih milih pakaian Nano untuk mereka pakai. Mereka sibuk bergaya di depan cermin mencocokkan pakaian yang pas untuk pergi besok.
“Waah, kayaknya seru juga ya nyamar jadi cowok!” Winny yang suka petualangan jelas gembira.
“Iya, pake baju cowok…kayak Marry Kate and Ashley Olsen gitu! Keren!” Wina mengamini.
Nano cuma duduk di pinggir kasurnya, kali ini menghela nafas pasrah melihat lemari bercermin dan baju-bajunya sekaligus diboikot oleh dua setan centil itu.
“TING TONG!” Terdengar bel dari luar, baru saja Nano beranjak keluar mau membukakan, sudah terdengar grasak-grusuk di tangga, lalu muncullah seorang pemuda berwajah sumringah di pintu kamar.
Wina dan Winny terbelalak, “Nano ada dua?!?” Heran mereka.
“Vino?” Nano tak kalah kaget dengan kedua gadis kembar itu. “Lu bisa lepas dari mereka?”
“Iya , gue berhasil kabur!“ Ungkap pemuda dengan wajah dan postur tubuh yang persis sama dengan Nano. Setelah itu pemuda ini malah mengamati sepasang gadis kembar itu. “Ini yang lu culik?“ Tanyanya.
Nano mendekati kembarannya dan merangkulnya. “Iya! Dan kayaknya mereka bisa langsung pulang sekarang!”
Kedua gadis itu masih kebingungan, “Tunggu, gue masih nggak ngerti nih! Ada apa sih sebenarnya?“ Winny menjadi juru bicara.
“Sebenarnya gue mau nyulik kalian karena Vino, kembaran gue ini udah sebulan ditawan sama mereka! Mereka bakal lepasin Vino kalau gue berhasil nyerahin kalian ke bos!” Cerita Nino, “Tapi berhubung gue nggak ada keperluan lagi sama bos, gue nggak butuh kalian lagi! Pulang gih sana, gue udah kerepotan sama tingkah kalian!”
Vino berkernyit geli, “Ini yang namanya penculikan?” Tanyanya heran, “Ini mereka yang lu culik, apa elu yang diculik mereka?” Ledeknya geli.
Terdengar lagi suara grasak grusuk dari luar, kali ini disertai suara pintu dibanting dan teriakan-teriakan kasar.
“Itu pasti bos!” Ujar Nano waspada. “Vin, lu ajak mereka kabur, biar gue yang mengalihkan perhatian mereka!” Komando Nano sebelum ia turun menghadapinya sendirian.
“Gawat, ayo kabur!” Ajak Vino sambil berjalan ke jendela.
“Nggak mau!” Tolak mereka berdua kompak, membuat Vino terkejut.
“Masa kita harus tinggalin Nano? Kalau kayak gini pantesan kalian terpisah terus!“ Wina emosi.
“Lagipula gue penasaran, apa sih yang bakal terjadi di bawah!” Winny memainkan alisnya, “Sayang kan kalau teknologi nggak digunakan?” Ia mengeluarkan HP dengan kamera 5 megapixel-nya. “Ini bisa jadi bukti!”
“Tapi lu nggak tau sih gimana kejamnya bos!” Vino memperingatkan.
“Nggak bakal ketahuan kok! Kita kan ngintipnya dari tangga!” Winny menjamin.
Jadi juga mereka menguntit. Pria parlente yang disebut-sebut bos itu memarahi Nano dengan kasar, tak urung juga menghajarnya. Pasti Nano merelakan diri jadi bahan penganiayaan untuk mengundur waktu. Di belakangnya mengepung banyak tukang pukul. Winny memanfatkan keadaan itu untuk direkam. Pembicaraan itu pun cukup lengkap untuk menjadi bukti, tentang profesi mereka yang sebenarnya rentenir dan menculik Vino karena keluarganya tidak dapat membayar hutang, juga tentang penculikan Winny dan Wina karena merasa tersaingi dengan kesuksesan papa mereka.
“Itu mereka ada diatas!” Tiba-tiba salah satu konco pria parlente itu berseru.
“Sekarang baru saatnya kabur!” Komando Winny panik sambil berlari ke atas beriringan.
Vino membuka jendela dan menunjukkan jalan. “Dari sini ada tangga kecil buat ke tanah kosong sebelah! Ayo cepat!“

Mereka terus berlari dengan kejaran para preman itu di belakangnya. Mereka berlari hingga jalan raya. Untung sekali mereka menjumpai sebuah taksi kosong.
“Ke kantor polisi terdekat pak! Cepat!” Pinta Wenny ketika taksi melaju.

Akhirnya atas dasar bukti dari HP Winny dan kesaksian Winny, Wina, Nano serta Vino, bos rentenir itu sukses diciduk polisi. Nano yang babak belur segera dirawat di rumah sakit mamanya Winny dan Wina. Kedua orangtua Winny dan Wina akhirnya pulang setelah cemas mendengar kabar penculikan itu yang justru berhembus setelah anak mereka lepas, mereka malah sangat berterima kasih dengan penculik itu dan kembarannya karena telah melindungi anaknya dari bos rentenir itu, cerita yang aneh memang.
“No!” Winny memanggil pemuda yang terbaring di ranjang di depannya.
“Apa?” Sahut Nano malas.
“Lu cepet sembuh ya! Janji deh, kalo lu udah sembuh nanti kita ke Dufan!“ Bujuk Winny.
“Enak aja loe!” Nano menempeleng kepala gadis tengil itu, “Emang gue kayak Wina, kayak anak kecil aja!” Melihat mereka, Vino dan Wina ikutan cekikikan geli jadinya.
“Tapi beneran! Habis yang kemaren kan nggak jadi!“ Winny merajuk.
“Iya-iya! Lagipula besok gue udah boleh pulang kok!“ Nano mengabari.
“Yang bener?” Winny terbelalak senang.
“Iya, toh luka gue nggak parah-parah amat! Cuma luka kecil gini!” Nano menenangkan gadis itu.
“Okee! Kalau gitu besok lusa kita pergi ke DUFAAAN!” Seru Winny gembira. “Pokoknya nanti kita harus naik jet coaster gede, kora-kora, tornado, power surge, perahu luncur, pontang-panting…”
Nano punya ide gila untuk menghentikan gadis ini. Ide yang pasti manjur tapi mungkin akan sedikit disesalinya. Pemuda itu mencium pipi chubby Winny, membuat Winny sontak terperangah, speechless."Bagus deh manjur!" Celetuk Nano sok gengsi, menahan malunya.
"Tadi maksudnya apa tuh?" Winny masih berkedip-kedip tak percaya.
"Masa lu nggak ngerti?" Nano yang keburu malu bukan kepalang langsung mengembalikan gengsinya, "Dasar lemot, pikir aja ndiri!"
"Apaan!" Paksa Winny.
"Ntar aja di Dufan gw bilangnya!" Nano yang keburu hancur moodnya mengulur waktu.
"Sekarang!"
"Besok!"

Di kejauhan Wina yang menyepi bersama Wino cuma bisa melirik mereka.
"Lu yakin Na, mereka bakal jadian?" Vino yang antusias mengintip meragukan pendapat gadis itu.
"Iya, gue bisa liat kok mereka saling suka!" Wina mengangguk yakin.
"Terus kita gimana?" Vino melirik Wina dengan lirikan mautnya.
"Gimana apanya?" Wina masih bingung.
"Ya mereka jadian, kita gimana dong?" Vino memancing.
Wina memutar matanya agak malu, mulai sadar maksud pembicaraan ini, "Ya jadian juga aja! Susah amat!"
Vino yang ngarep terbelalak sumringah. "Emang lu suka sama gue?"
"Lu sendiri suka sama gue nggak?" Wina mengalihkan. "Ditanya malah nanya balik!"
"Lu duluan gih!"
"Lu duluan deh, ladies first!"
"Lu dong harusnya, be gentle!"
"Ya udah, kita suit aja! Yang kalah yang ngomong duluan!" Vino mulai bosan bersiteru terus.
"Oke!" Wina menyisingkan lengan bajunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar