Jumat, 04 Juni 2010

sahabatku- kekasihku

Suasana kampus jam-jam segini memang lumayan sepi, karena memang jam padat kuliah sudah selesai. Tinggal aku dan manusia di sebelahku ini yang masih setia duduk-duduk di taman sekedar menunggu matahari agak turun ke barat.“Sa, ak minta tolong, bisa gak?”, tanyaku setengah memelas.“Minta tolong apaan?”, jawab Nisa masih serius dengan komik di tangannya.“Kamu masih inget Shelly kan? Mantanku yang sekarang ngebet pengen balikan ma aku?”“Hem,,, trus?”“Dia gak bakalan nyerah bikin aku nrima dia lagi”“Trus?”“Aku tuh risih banget sama sikap dia akir-akir ini. Kayak dia tuh satpam aku aja. Segala urusanku dia tau”“Trus?”“Dia bakalan bener-bener mundur kalo aku uda punya cewek dan dia juga harus tau sapa cewek tiu”“Trus?”“Kok terus-terus sih. Sebenernya kamu dengerin ceritaku gak sih?”. Aku agak dongkol pada sahabatku yang satu ini. Akhirnya Nisa menutup komiknya.“Iya, aku dengerin. Sekarang kamu maunya apa?”“Aku mau minta tolong kamu. Aku mau kamu pura-pura jadi cewekku. Terus aku kenalin ke Shelly. Dengan begitu Shelly gak akan ganggu aku lagi”“WHAT?!?!”, Nisa kaget mendengarnya.“Gak usah screaming gitu napa sih? Biasa aja lagi”“Emang gak ada ide laen”. Aku menggeleng.“Kenapa mesti aku? Gimana kalo Tia aja. Dia kan cantik, tinggi, pinter. Serasi banget deh sama kamu. Lagian kamu kan juga akrab sama dia. Jadi kalo ngobrol masih nyambung”“Gak bisa, Sa. Kalo kamu kan udah tau critanya mulai dari awal. Jadi kalo ada apa-apa paling nggak kamu bisa mengantisipasi”, aku memberi alasan.“Sori, Vin, tapi aku gak bisa”“Kenapa, Sa? Masak kamu gak mau sih nolongin sahabat kamu?”“Bukannya gak mau, Vin. Tapi gak bisa”“Trus alasannya apa?”“Aku gak bisa nanggung resikonya. Kamu yakin, kalo Shelly tau kamu udah punya cewek, dia bakalan langsung ngejauhin kamu? Kalo dia kirim intel buat mata-matain kamu gimana? Trus kalo dia tau ini cuman bo’ongan gimana?”. Kami terdiam sejenak.“Ya udah kalo kamu gak mau nolongin aku”, kataku agak kecewa.“Idih, dibilangin gak bisa, bukannya gak mau”“Ye,,, sama aja kan?”“Gak sama lagi”“Whatever lah. Mo pulang bareng gak? Uda gak panas nih”.

Nisa mengangguk kemudian mengikuti langkahku. Sudah 3 hari sejak kejadian di kampus sore itu, aku dan Nisa tidak pernah membahasnya lagi. Aku dan Nisa bersahabat sejak 1,5 tahun yang lalu. Tepatnya sejak kami masuk perguruan tinggi. Nisa adalah orang kepercayaanku. Aku selalu menceritakan apa yang aku alami pada cewek itu. Dan Nisa selalu memberi solusi bagi masalahku atau sekedar jadi pendengar setia cerita-ceritaku. Termasuk cerita Shelly, cewekku yang aku putuskan 5 bulan lalu. Tapi satu hal yang selalu menjadi pertanyaanku, Nisa jarang sekali bercerita panjang lebar padaku. Dan aku pun tidak pernah bertanya padanya. Aku takut menyinggung perasaannya. Aku pikir biar dia sendiri yang nantinya cerita padaku.Tapi lama kelamaan aku penasaran juga pada sikapnya itu. Apalagi sejak ada 2 cowok beda jurusna yang terang-terangan nembak dia. Dengan cueknya Nisa nolak cowok-cowok itu. Hingga suatu hari …“Sa, aku mau tanya boleh gak?”“He-eh”, jawab Nisa sambil terus membaca novel di tangannya.“Kalo boleh tau alasan kamu nolak Mikki sama Agung apaan sih? Padahal banyak cewek yang ngfans sama Mikki. Eh, malah kamu tolak. Kamu tuh aneh. Jangan-jangan kamu lesbian ya”, godaku.:Hus,,, ngawur. Aku masih normal lagi. Pengen tau knapa? Soalnya, klo aku punya cowok, trus yang nemenin kamu sapa? Aku kan orangnya setia kawan”, Nisa tertawa.“Sialan. Aku serius nih”“Aku juga serius”. Nisa gak mau kalah.“Nyerah deh ngomong sama kamu”. Nisa cuma tertawa mendengarnya. Ternyata manis juga cewek di sampingku ini. Deg,,, tiba-tiba seperti ada perasaan aneh di hatiku. Sampai di rumah aku terus memikirkan ada apa sebenarnya dengan Nisa. Kenapa dia begitu anti dengan cowok. Apa dia sudah punya pacar. Tapi aku nggak pernah sekalipun melihatnya jalan dengan cowok. Di dompet, binder ataupun bukunya tidak pernah ada foto cowok atau nama seseorang. Kalaupun dia trauma karena pernah disakiti, dia nggak pernah menunjukkan gejala-gejala seperti itu. Nisa, kamu sahabatku yang penuh misteri. Tiba-tiba aku berpikir, selama ini aku adalah cowok yang paling beruntung karena aku paling dekat dengan Nisa. Cewek manis, pinter, dan sering jadi pembicaraan anak-anak kampus karena Nisa sering menjuarai lomba menulis cerpen atau puisi. Sur,,, perasaan itu muncul lagi. Seperti ada yang menyetrumku. Hei, kenapa aku ini?, tanyaku pada diriku sendiri. “Sa, anterin ke toko buku yok!”, ajakku.“Tumben kamu ke toko buku, Vin. Gak salah alamat?”“Ntar pulangnya aku traktir deh”“Tawaran yang bagus tuh, Ayok deh”“Duh, senengnya kalo denger traktiran”. Nisa tertawa. Ternyata dia memang manis. Aduh, aku kenapa lagi?, batinku. Sedang enak-enaknya memilih buku tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.“Hei, Vin. Senengnya bisa ketemu kamu di sini”. Aku cuma tersenyum kecut begitu tau siapa yang menyapaku.“Eh, Shelly”“Kamu sama sapa, Vin?”, tanyanya. Aku langsung teringat Nisa. Spontan aku jawab,“Cewekku. Tuh dia di sana”. Telunjukku mengarah pada rak tempat novel-novel. Sejenak aku melihat raut muka kecewa pada wajah Shelly. Tapi kemudian dia kembali tersenyum.“Kenalin dong”, ajaknya. Tidak berapa lama kami sudah sampai di tempat Nisa sedang membaca novel. Aku memegang pundaknya kemudian tersenyum.“Sa, kenalin, ini Shelly. Shell, ini Nisa”.

Nisa mengulurkan tangannya sambil tersenyum.“Senang kenalan sama kamu”, ucap Shelly.“Udah berapa lama jadian?”, sambungnya. Aku sempat memandang wajah Nisa yang kini berubah ekspresi dari ramah jadi antara kaget dan bingung.“Baru 3 bulan”, jawabku, karena aku tau Nisa takkan menjawabnya.“Kalo gitu selesai sudah penantianku”, Shelly menghela nafas kecewa.“Selamat ya. Moga kalian langgeng”, katanya mencoba tersenyum. Nisa hanya terdiam. Aku jadi serba salah.“Aku duluan ya. Masih ada perlu”, pamit Shelly. Aku mengangguk. Tidak berapa lama setelah punggung Shelly tidak terlihat, Nisa akhirnya membuka mulutnya.“Makasih ya, Vin. Aku pulang dulu”Dari nadanya terdengar kalo Nisa marah. Baru pertama kali ini aku melihatnya marah. Dan aku yang telah menyebabkannya. Aku nggak mau bikin keributan di dalam toko buku ini dengan berteriak memanggil namanya. Makanya aku mengikutinya sampai depan.“Sa, dengerin alasanku dulu”, kataku sambil meraih lengannya.“OK, aku dengerin alasan kamu kalo itu masuk akal”, katanya. Tapi ia tetap tak mau melihat mataku.“Sa, aku bener-bener minta maaf. Waktu Shelly nyapa aku, yang ada dipikiranku Cuma ide itu. Dan kamu satu-satunya yang bisa nolong aku”, aku memberi alasan dengan memelas.“Tapi kamu tau kan kalo aku gak setuju dengan ide itu. Dan kamu juga udah tau apa alasannya. Sori, Vin, mungkin sikapku terlalu berlebihan”, ucap Nisa sambil memandang mataku lekat-lekat, tapi kemudian pandangannya beralih kembali.“Kamu udah ngejelasin dan aku udah denger. Sekarang biarin aku pulang”. Nisa menarik lengannya. Sejenak aku terdiam. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya, pikirku. Ah… aku tidak mau membiarkan dia pergi lagi.“Nisa… aku suka kamu. Itu alasan sebenarnya”, kataku setengah berteriak agar Nisa yang berjarak 5 langkah dariku, bisa mendengar dengan jelas kalimatku. Ternyata maksudku tersampaikan, cewek manis itu berhenti dan membalikkan badannya. Tapi yang kulihat, raut wajahnya tidak berubah. Aku menghampirinya.“Aku suka kamu, Sa. Mau nggak kamu jadi cewekku?”. Nisa terdiam.“Kamu nggak perlu jawab sekarang”, sambungku cepat sambil tersenyum.“Vin, emang salahku nggak pernah cerita dari dulu”, akhirnya Nisa mau bicara.“Padahal kamu adalah sahabatku tapi aku kurang terbuka sama kamu. Vin, dari dulu sampe sekarang, kamu tetep sahabatku karna aku masih dan akan terus menepati janjiku pada seseorang itu”. Dari kalimatnya yang panjang itu aku sudah dapat menarik kesimpulan kalau ia menolakku. Tapi aku masih penasaran.“Siapa seseorang itu, Sa?”, tanyaku.“Temmy”. Hanya itu yang ia ucapkan sebelum ia pamit pulang.

Aku hanya terdiam, membiarkannya pergi meninggalkan aku yang tiba-tiba dihinggapi rasa kecewa. Besoknya ketika suasana hati Nisa terlihat gembira, aku menanyakan siapa sebenarnya ‘Temmy’. Awalnya Nisa diam saja, tapi kemudian dia menjelaskan dengan mata menerawang, seakan-akan ia melihat sesuatu yang ada jauh di sana.Ternyata ‘Temmy’ adalah teman SMA Nisa. Sejak kelas 2 SMA, Temmy adalah sebuah mentari dalam hidup Nisa. Ya, mereka adalah sepasang kekasih. Tapi semua kebahagiaan itu berakhir sejak 1,5 tahun yang lalu. Tepatnya di hari pengumuman kelulusan SMAnya. Pagi itu, seperti biasa, Temmy menjemput Nisa di rumahnya. Cowok itu mengendarai motornya dengan kecepatan normal. Tiba-tiba dari arah kiri sebuah pertigaan dekat rumah Nisa datang sebuah mobil mewah warna merah. Mobil itu berkecepatan tinggi dan berjalan tidak pada jalurnya. BRUAK…. Dan kecelakaan itu pun tak terelakkan. Temmy terpental hingga 2 meter dari motornya yang rusak berat. Orang-orang sekitar termasuk Nisa sempat membawa Temmy ke rumah sakit. Tapi belum ada satu jam, Temmy sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Di menit-menit terakhir, Nisa sempat berjanji bila Temmy akan selalu menjadi mentari baginya. Akhirnya Temmy meninggalkan Nisa untuk selamanya dengan senyum tersungging di bibirnya.Cewek di sampingku ini meneteskan air matanya setelah menceritakan kenangannya itu. Baru pertama kali ini aku melihat Nisa menangis dan aku hanya bisa terdiam. Pupus sudah harapanku. Tapi aku masih tetap menyukai Nisa. Gadis manis yang akan selalu jadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar